Gerakan Literasi Sekolah
Oleh: Marsten L. Tarigan (Guru Bahasa Indonesia SMA Trinitas)
Minat Baca
Tingkat minat membaca atau literasi di Indonesia sangat rendah dibandingkan Negara lain. CCSU (Central Connecticut State University) merilis bahwa Indonesia ranking 60 dari 61 negara. CCSU merilis peringkat literasi negara-negara dunia pada Maret 2016. Pemeringkatan perilaku literasi ini dibuat berdasar lima indikator kesehatan literasi negara, yakni perpustakaan, surat kabar, pendidikan, dan ketersediaan komputer.
Indonesia masih unggul dari satu negara, yakni Botswana yang berada di kerak peringkat literasi ini. Nomor satu ada Finlandia, disusul Norwegia, Islandia, Denmark, Swedia, Swiss, AS, dan Jerman. Korea Selatan dapat ranking 22, Jepang ada pada ranking 32, dan Singapura berada di peringkat ke-36. Malaysia ada di barisan ke-53.
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan UNESCO, persentasi minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001%. Artinya, dari 1000 penduduk masyarakat Indonesia hanya ada 1 orang saja yang gemar membaca.
Literasi Sekolah
Pemerintah melalui Permendikbud no.23 tahun 2015 tentang penumbuhan “budi pekerti” mencanangkan gerakan literasi sekolah pada tahun 2015 yang merupakan penerapan dari Permendikbud tersebut.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, literasi adalah 1. Kemampuan menulis dan membaca; 2. Pengetahuan atau keterampilan dalam bidang atau aktivitas tertentu; 3. Kemampuan individu dalam mengolah informasi dan pengetahuan untuk kecakapan hidup.
Menurut UNESCO (The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization), arti literasi adalah seperangkat keterampilan nyata, terutama ketrampilan dalam membaca dan menulis, yang terlepas dari konteks yang mana ketrampilan itu diperoleh serta siapa yang memperolehnya.
Secara umum literasi adalah kemampuan individu untuk membaca, menulis, menghitung, berbicara, dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian yang diperlukan dalam pekerjaan, keluarga dan masyarakat.
Gerakan Literasi Sekolah diadakan dan dilakukan untuk menyahuti Permendikbud no. 23 tahun 2015 tentang penumbuhan budi pekerti. Prilaku siswa yang tidak baik disebabkan kurangnya penanaman budi pekerti. Gerakan literasi sekolah menjadikan para warga sekolah dapat mengakses, memahami, dan menggunakan berbagai informasi secara cerdas. Dengan demikian diharapkan dapat menumbuh-kembangkan budi pekerti peserta didik.
Literasi terdiri dari berbagai jenis, seperti literasi baca-tulis, literasi digital, literasi finansial, literasi gizi, literasi informasi, literasi internet, literasi jaringan, literasi perpustakaan, literasi, media, literasi numeria, literasi teknologi, literasi sains, literasi visual, dll. Jenis-jenis ini disesuaikan dengan pengertian dan pemahaman pada berbagai bidang-bidang tertentu.
Budaya baca-tulis dan cinta sastra biasanya identik dengan pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah, namun dalam Gerakan Literasi hal tersebut tidak lagi menjadi konteks yang menjadi acuan. Artinya literasi dibiasakan dalam aktivitas sehari-hari di sekolah di luar pelajaran tersebut. Bagi siswa di sekolah dilakukan melalui membaca 15 menit sebelum kegiatan belajar-mengajar dimulai.
Membaca 15 menit tersebut dilakukan oleh siswa dengan menggunakan buku yang dimiliki atau dengan buku bahan ajar literasi yang disiapkan , guru melakukan pendampingan dan pengarahan dan kontrol kepada siswa-siswi dengan aktvitas utama dalam hal ini adalah merangsang minat baca siswa. Selanjutnya siswa juga diarahkan pada aktivitas menulis. Pada kegiatan ini, dilakukan dengan cara meringkas teks bacaan atau membuat tulisan baru berdasarkan buku teks yang dibaca atau buku bahan ajar literasi. Dengan melakukan kegiatan-kegiatan ini, diharapkan siswa telah mampu memberi contoh yang bermuatan budi pekerti melalui buku yang dibaca tersebut.
Bahan literasi yang digunakan untuk menciptakan budaya literasi di sekolah dapat dilakukan dengan beberapa cara: 1. Pemilihan bahan bacaan yang sesuai dengan tujuan gerakan literasi berdasarkan buku yang ada di sekolah; 2. Penyelarasan atau pemerataan buku yang dibaca.
Adapun literasi selain bertujuan sebagai upaya pembentuan ‘budi pekerti’ bagi kalangan siswa, literasi juga bertujuan untuk:
- Menambah perbendaharaan kata.
- Mengoptimalkan kinerja otak.
- Mendapat berbagai wawasan dan informasi baru.
- Kemampuan interpersonal.
- Meningkatkan kemampuan memahami makna suatu informasi.
- Meningkatkan kemampuan verbal atau berbicara.
- Meningkatkan kemampuan analisis dan berpikir.
- Membantu meningkatkan daya fokus dan kemampuan konsentrasi.
- Meningkatkan kemampuan dalam merangkai kata dalam menulis.
- Meningkatkan kreativitas.
- Long life education.
Produk yang dapat dihasilkan melalui gerakan literasi sekolah ini dapat bersifat sangat luwes dan meluas. Misalnya menghasilkan produk buku bertemakan apapun, lomba membaca-menulis, pameran karya tulis, penciptaan dan pengkajian ilmu pengetahuan, produksi film, pengadaan workshop, dll.
Literasi menjadi penting untuk kelangsungan bernegara demokrasi seperti Indonesia yaitu untuk membangun populasi generasi terpelajar yang menjadi kunci bernegara dengan pondasi sosial, ekonomi, dan politik yang kuat. Literasi juga membantu masyarakat melepaskan diri dari belenggu ketidaktahuan, terhindar dari manipulasi dan tertinggal arus globalisasi.
Nejahualcoyotl, Meksiko dan Literasi
Penulis biasanya mencerap berbagai hal atau masalah yang ada dalam masyarakat kemudian menuangkannya dalam bentuk tulisan dan disampaikan pada pembaca yang akhirnya diharapkan dapat memunculkan reaksi. Suatu karya tulis diharapkan mampu berfungsi untuk membangun kehidupan sosial, membangkitkan energi yang stagnasi, sekaligus menciptakan pola dan struktur yang baru untuk menggantikan yang lama sebagai bentuk efek, reaksi, tanggapan dari pembaca (masyarakat) terhadap karya tersebut.
Misalnya tentang situasi yang terjadi di Nejahualcoyotl, sebuah kota yang paling buruk dan bobrok di Meksiko. Angka kejahatannya sangat tinggi. Dalam keadaan demikian, pihak pemerintah menggunakan sastra sebagai senjata untuk menegakkan kembali wibawa kepolisian.
Sekitar tahun 2006, kepala kepolisian Nejahualcoyotl, Jorge Amador yang didukung penuh wali kotanya mengeluarkan kebijakan bahwa setiap bulan seluruh anggota kepolisian harus membaca buku sastra setidaknya satu buku. Bila bacaanya macet atau tersendat, maka akan menghambat kenaikan pangkat. Kemudian pemerintah dengan sigap menyediakan perpustakaan-perpustakaan kota yang lengkap. Hal lain yang dilakukan pemerintah adalah mendanai penerbitan buku-buku sastra yang bersangkutan dengan tema-tema kepolisian atau yang dianggap akan memperkaya kehidupan polisi secara umum.
Di balik usaha-usaha itu, ada sebuah kepercayaan mendasar bahwa sastra, dengan caranya yang tersendiri, bisa meningkatkan dan memperbaiki kualitas hidup seseorang, persepsinya, caranya bertutur, caranya berpikir dan mengolah rasa, kepekaannya. Menurut kepala kepolisian Neja, Jorge Amador, maka kemudian sastra telah meningkatkan kualitas warga negara (termasuk para Polisi di Nejahualcoyotl) dalam tiga cara. Pertama, karya-karya sastra memperkaya kosa kata pembacanya. Bagi polisi yang tugasnya mempersyaratkan kemampuan komunikasi yang fasih, polisi mesti bisa berbicara dengan lancar bahkan dengan para pelanggar dan kriminal. Ketika kemampuan berbahasa meningkat maka efisiensinya juga akan ikut meningkat. Kedua, para polisi mendapatkan berbagai pengalaman batin dan dunia manusia yang beragam. Ketiga, ada suatu keuntungan etis, dalam mempertaruhkan hidup untuk keselamatan dan harta orang lain membutuhkan keyakinan-keyakinan yang mendalam. Sastra telah memperkaya keyakinan-keyakinan mendalam tersebut bagi para polisi di Nejahualcoyotl dengan membiarkan pembaca menemukan kehidupan dengan komitmen yang sama.
Dari keuntungan-keuntungan yang di dapat kepala polisi di Nejahualcoyotl beserta anggota kepolisiannya, dapat dilihat bagaimana mereka membentuk sebuah efek, reaksi dan mendapat pengaruh setelah membaca karya sastra. Keren.
Memiliki dan memanfaatkan teknologi dalam literasi
Pada masa perkembangan teknologi pada masa kini, literasi yang apabila disederhanakan hanya sampai pada proses membaca dan menulis dapat saling bersinergi. Dengan hebatnya teknologi dan penyebarluasan informasi melalui teknologi, bahan bacaan dapat diperoleh dengan mudah.
Kemudahan mengakses informasi melalui teknologi ini mempengaruhi proses membaca dan menulis seseorang tentunya. Dengan kemudahan ini juga, pembaca atau penulis pada masa kini menjadi berbeda dengan pembaca atau penulis pada zaman dulu. Misalnya, seorang penyair pada zaman dulu bila ingin menuliskan tentang mawar, maka ia harus melihat, menyium, menyentuh mawar, membaca buku mengenai anatomi mawar dan hal-hal yang menyangkut tentang mawar lalu merenungkan agar bisa menuliskan syair tentang mawar. Artinya penulis mesti bersusah-susah untuk mendapatkan informasi tentang suatu hal sebelum menuliskannya dan harus melewati proses empirik (pengalaman). Namun berbeda dengan penyair pada zaman sekarang, untuk menuliskan tentang mawar, cukup membuka aplikasi dan mengetikkan keyword mawar maka banayak informasi tentang mawar akan muncul. Ia tidak perlu harus berhadapan dengan mawar secara langsung untuk kemudian dapat menuliskan syair tentang mawar.
Dengan demikian, perlu kita lihat lagi, apakah dalam hal literasi, kita hanya memiliki teknologi saja atau mampu memanfaatkannya.
Pustaka
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa-Kemendikbud. (2016). Pedoman Pelaksanaan Gerakan Nasional Literasi Bangsa. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa-Kemendikbud
https://news.detik.com/berita/d-4371993/benarkah-minat-baca-orang-indonesia-serendah-ini (waktu akses: 9 Juni 2019)
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, No.23 Tahun 2015 Tentang Penumbuhan Budi Pekerti.
Setiadi, Tia. (2015). Jurnal Sajak edisi 12: Sastra yang (Tak) Terpencil dan Tiga Epifani Gelap Tentang Pemenang Lomba Puisi Esai 2014 oleh Tia Setiadi. Depok: Komodo Books.